Friday, November 23, 2018

Ki Ngabehi Soerodiwirjo


PENDIRI SETIA-HATI 1903 Ki Ngabehi Soerodiwirjo


Muhamad Masdan lahir pada 1869 di daerah Gresik, Jawa Timur. Kelak kemudian putra tertua Ki Ngabehi Soeromiharjo ini dikenal dengan dengan nama Ki Ageng Hadji Ngabehi Soerodiwirdjo (Eyang Suro). Setahun setelah menyelesaikan pendidikan formal setingkat SD, beliau mendapat pekerjaan magang sebagai juru tulis pada seorang kontroler (orang Belanda). Selain bekerja, beliau tetap meneruskan belajar di Pesantren Tebuireng, Jombang. Dari pesantren inilah, Eyang Suro mulai mendalami ilmu agama dan pencak silat sekaligus. Kombinasi ini terus menjadi pola belajar yang beliau dapatkan selepas dari Tebuireng. Seperti ketika kemudian ditugaskan sebagai pegawai pengawas di Bandung, di mana selain menambah wawasan agama dari guru setempat, juga mendapatkan ilmu pencak silat aliran Pasundan seperti Cimande, Cikalong, Cipetir, Cibaduyut, Cimalaya dan Sumedangan.


Hanya setahun di Bandung, beliau harus pindah kerja ke Jakarta (Batavia). Dan selama di Jakarta pun, beliau menggunakan kesempatan untuk memperdalam ilmunya pada guru agama yang juga mengajarkan pencak silat aliran Betawian, Kwitang dan sumatranan. Setelah setahun, kemudian harus pindah kerja lagi ke Bengkulu selama 5  bulan, lalu ke Padang, Sumatra Barat. Di daerah ini, beliau tinggal hampir selama 4 tahun dan juga tetap meneruskan belajar. Namun dalam budaya Minangkabau pada saat itu, mempelajari pencak silat setempat tidak mudah. Guru-guru tingkat tinggi umumnya adalah juga seorang sufi yang tidak sembarangan mengajarkan ilmu atau mengangkat murid. Salah seorang guru Eyang Suro di sini adalah Datuk Rajo Batuah. Selama di Sumatra Barat ini, beliau juga menambah penguasaan ilmu pencak silatnya dari aliran Minangkabau dan Bukittinggi. Selanjutnya Eyang Suro harus pindah tempat kerja lagi ke Aceh yang memungkinkannya memperdalam ilmu dari guru guru di daerah setempat seperti Tengku Ahmad Mulia Ibrahim dan lainnya yang selain mengajarkan agama juga pencak silat aliran Aceh


Setelah 4 tahun berada di Aceh, Eyang Suro kembali ke Surabaya, Jawa Timur. Ketika kemudian mulai banyak murid yang bermaksud belajar kepadanya, maka agar lebih terorganisasikan kemudian dibentuk perguruan pencak silat dengan nama Joyo Gendhilo Cipto Muljo / Sedulur Tunggal Kecer (STK) yang didirikan di PANTI SETIA-HATI 1903 Surabaya,Sebuah perguruan pencak silat yang kelak berkembang menjadi banyak perguruan seperti Persaudaraan Setia Hati, Persaudaraan Setia Hati Winongo, Persaudaraan Setia Hati Terate, Persaudaraan Setia Hati Pilangbango dan beberapa nama perguruan pencak silat lainnya lagi.yang ber-aliran SETIA-HATI .


Walaupun telah menguasai pencak silat tingkat tinggi dari berbagai daerah di Nusantara, namun justru oleh mereka yang mengenalnya, Eyang Surodiwirdhjo sendiri dikatakan sebagai pribadi yang sangat sabar dan ramah. Beliau sendiri mengajarkan bahwa pada tingkatan tertinggi, olah pencak silat bukan lagi pada fisik tetapi spiritual, menuju pengenalan jatidiri sejati. Meskipun tidak banyak, namun ada murid-murid beliau yang kemudian mencapai tingkatan tersebut. Diantaranya almarhum Bapak Bambang Subiyantoro Karto Kusumo (terakhir menjabat sebagai Bupati Ngawi pada 1965-1967), salah seorang keponakan beliau yang karena kecerdasannya (antara lain menguasai beragam bahasa asing secara otodidak) juga menjadi penerjemah pemerintah untuk para tamu negara. Pada 2006, seorang murid (kini tinggal di Taiwan bersama keluarganya) yang sebelumnya telah menyelesaikan jenjang pendekar dari salah satu perguruan beliau di Madiun juga kemudian mencapai tingkatan pencerahan tersebut.

Sebelum Beliau Meninggal ia Menitipkan Sebuah Pesan kepada Saudara ''S-H'' berikut adalah:
1. Jika saya sudah pulang ke Rahmatullah supaya saudara-saudara “S-H” tetap bersatu hati, tetap rukun lahir bathin.
2. Jika saya meninggal dunia harap saudara-saudara “S-H” memberi maaf kepada saya dengan tulus-iklas. Saya titip ibunda Nyi Soerodiwirjo selama masih di dunia fana ini.

Dan ketika Beliau wafat menyuruh membacakan surat surat saat ziarah ke makam Ki Ngabehi Surodiwirdjo(Eyang Suro):
 Surat Yasin ayat 1 yang berbunyi,Yasin Yasien artinya ''Allah saja yang mengetauhi nya''
 Surat Yasin ayat 58 yang berbunyi, Salamun Qaulom mir Rabier-Rahim Artinya, ''Selamat sejahtera itulah seruan Allah Yang Maha Esa''



Sedangkan Badan Pengasuh bertanggung jawab atas rumah tangga SH. Yang mengemban peran ini tidak harus tingkat tiga layaknya Pengesuh. Tugasnya sebagai pelaksana upacara kecer, Suran, atau silaturahim.
Badan Pertimbangan bertugas memberikan pertimbangan, referensi, dan bagaimana keputusan yang akan diambil oleh organisasi. ”Tapi bukan berarti mendominasi badan pengesuh maupun pengasuh,” Koes menjelaskan.
Adapun susunan juru kecer Persaudaraan setia hati winongo(panti) adalah sbb :
Ki Ngabehi Surodiwiryo (1903-1944)
Koesnandar (1944-1947/Bupati Madin kala itu)
Kolonel Singgih Gubernur Akademi Militer Nasional Magelang (1947-1957)
Hadi Subroto (1957-1977)
Karyadi (1957-1977)
Soemakto (1978-1998)
Koes Soebakir (1998-Sekarang)









2 comments:

  1. Salam mas, ada document tertulis terkait beliau pernah nyantri di tebu ireng?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Memang beliau waktu muda pernah belajar di pesantren Tebuireng, Jombang.

      Delete