Thursday, November 29, 2018

Aliran Setia-Hati 1903



                                                      

SETIA-HATI. Sudah, itu saja nama asli pencak silat asli Madiun ini. Tanpa embel-embel nama lain di belakangnya. Hanya S-H

Setia-Hati bisa disebut sebagai organisasi yang lengkap. Mengajarkan bagaimana cara keluar dari permasalahan hidup, dengan menggabungkan kebutuhan jasmani dan rohani. Dua kebutuhan itu lalu dilebur dalam gerak indah untuk pertahanan diri, yang akhirnya diberi nama pencak silat.
Pencak silat dalam arti untuk pertahanan lahir batin, bukan untuk  adu fisik.

Adalah Ki Ngabehi Soeridiwirdjo yang punya inisiatif untuk melahirkan ajaran Setia-Hati. Di Jl Gajah Mada No 41, Kelurahan Winongo, Kecamatan Manguharjo, Kota Madiun, ajaran ini mulai diperkenalkan oleh pria flamboyan yang akrab disapa Eyang Suro itu Mendirikan pada tahun 1903.

Filosofi dasar ajaran Setia-Hati sebenarnya sangat luhur dan manusiawi. ”Setia-Hati memiliki makna setia menuruti kehendak hati yang luhur untuk mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa,” Tutur Koes Soebakir(Mbah Cuk), pengesuh Setia-Hati atau menurut istilah S-H disebut Keceran.

S-H, kata Koes Soebakir(Mbah Cuk), memberikan suatu pelajaran untuk mendapatkan keselamatan. Secara teknis, memberikan pelajaran lahiriah berupa pencak silat dan pelajaran batin berupa upaya sungguh-sungguh untuk mendalami ajaran ke-Tuhan-an.

 Lalu dua hal tersebut dipadukan sehingga melahirkan satu gerak, baik refleks fisik maupun rasa, sehingga bisa memecahkan permasalahan yang dihadapi, menghindarkan diri dari marabahaya, dan dengan begitu seorang warga S-H bisa selamat. Dan perpaduan itulah yang disebut sebagai pencak silat, buah dari kolaborasi jasmani dan rohani yang luhur.

 Pencak silat S-H itu untuk melindungi diri. Untuk mengeluarkan seorang S-H dari permasalahan hidupnya. Bukannya untuk mencari masalah dengan main hajar orang lain. ”Kalau saja semua S-H berpedoman pada pakem yang diajarkan Ki Ngabehi Surodiwiryo, tidak akan pernah ada insiden. Karena seorang SH sejati pasti akan menghindari perbuatan yang tidak pantas, seperti mencelakai orang lain,” kata Koes Soebakir(Mbah Cuk).

 S-H asli, yang saat ini lebih dikenal dengan nama S-H Panti, tidak pernah merekrut anggota. Tapi, para pengurus memilih istilah “menghantar” siapa yang berminat untuk masuk ke dalam S-H. Mereka pun cukup selektif untuk memilih calon warga.

 ”Calon warga S-H harus memenuhi dua syarat. Pertama, benar-benar punya niat kuat untuk mempelajari S-H yang murni. Yang kedua dewasa, dalam artian sudah bisa membedakan mana yang baik dan buruk atau benar dan salah,” kata Koes Soebakir(Mbah Cuk).

 Beda dengan S-H lainnya, seperti S-H Terate dan Tunas Muda --keduanya turunan dari SH Panti—yang umumnya merekrut calon warga dalam skala massif, di S-H Panti sekali masuk maksimal hanya dua orang. ”Menurut perhitungan ajaran SH tidak boleh lebih dari dua orang. Ajaran itu murni dari Ki Ngabehi Surodiwiryo,” terang pengecer ke-7 S-H Panti itu. 
                                                                                                
Inilah yang membuat SH Panti(Panutan Inti) terkesan tentram. Pemilihan anggotanya cukup selektif, sehingga pengajaran benar-benar fokus dan mengena. Menurut Koes Soebakir, seorang S-H Panti(Panutan Inti) dijamin tidak akan melenceng dari ajaran dan tujuh sumpah yang diucapkan ketika ditahbiskan sebagai seorang S-H. ”Kalau melanggar sumpah tidak akan selamat.”

 Juga karena alasan itulah S-H Panti(Panutan Inti) bukan tipikal SH yang suka menggelar unjuk kekuatan massa. Karena memang bukan itu tujuan S-H. Tapi lebih pada pengajaran pada masing-masing individu SH menjadi pribadi yang matang lahir-batin dan selamat dunia-akhirat. Ajaran SH untuk individu, bukan untuk kelompok. Dan ajaran SH hanya diberikan pada warga yang sudah memenuhi syarat dan dikecer, tidak disebarluaskan secara umum.

Sampai sekarang, S-H masih eksis dengan nama S-H Panti(Panutan Inti). Pusat kegiatannya di rumah yang pernah ditempati Eyang Suro bersama istrinya, Ny. Sariati. Suasana rumah yang kemudian disebut panti itu memang adem ayem, jauh dari kesan ingar-bingar.

Suasana itu seperti pencerminan dari kehidupan Ki Ngabehi Surodiwiryo, seorang pekerja di Perusahaan Jabatan Kereta Api (PJKA) Madiun pada zaman Belanda, yang menjalani hidup bersahaja dan tenang. Tidak mengangkat dagu kendati dia adalah keturunan darah biru bila ditarik dari garis darah Betoro Katong penguasa Ponorogo zaman dulu.

 Dijalankan Tiga Badan Secara

 organisasi, S-H Panti(Panutan Inti) dijalankan oleh tiga unsur, yaitu Badan Pengesuh atau Pengikat, Badan Pengasuh, dan Badan Pertimbangan.

 Disebut Pengesuh, berasal dari kata dasar esuh, dalam bahasa Jawa berarti pengikat lidi. Pengesuh bisa diartikan sebagai pemersatu yang bertanggung jawab terhadap S-H. Yang bisa menjadi seorang pengesuh harus warga tingkat tiga, seperti Koes Soebakir. Dari Badan Pengesuh inilah akan diangkat juru kecer, yang akan mengesahkan seseorang sebagai warga S-H.

Sedangkan Badan Pengasuh bertanggung jawab atas rumah tangga SH. Yang mengemban peran ini tidak harus tingkat tiga layaknya Pengesuh. Tugasnya sebagai pelaksana upacara kecer, Suran, atau silaturahim.

Badan Pertimbangan bertugas memberikan pertimbangan, referensi, dan bagaimana keputusan yang akan diambil oleh organisasi. ”Tapi bukan berarti mendominasi badan pengesuh maupun pengasuh,” Koes Soebakir(Mbah Cuk) menjelaskan

 Pecah karena Pilihan

Pada dasarnya S-H memang hanya satu. Tapi, dalam kondisi kekinian, ada empat S-H yang eksis, yaitu S-H Panti(Panutan Inti) S-H Terate, S-H Organisasi, dan S-H Winongo Tunas Muda. SH Panti, Terate, dan Tunas Muda terpusat di Madiun, sementara S-H Organisasi lahir dan besar di Semarang, Jawa Tengah. Mereka pecah karena pilihan sikap masing-masing. Dan hanya S-H Panti yang mengaku masih menjalankan pakem ajaran asli Ki Ngabehi Surodiwiryo.
  
Menurut catatan sejarah Setia Hati, S-H Terate didirikan oleh Hardjo Oetomo di Desa Pilangbangu, Kecamatan Kartoharjo, Kota Madiun pada tahun 1922. Sampai sekarang, pusat kegiatan S-H Terate ada di Jl Merak, Kelurahan Nambangan Kidul, Kecamatan Taman, Kota Madiun.

 Lalu, pada tahun 1932, Munandar Hadiwijoto memilih mendeklarasikan S-H Organisasi di Semarang. Selang tiga dikade setelah S-H Organisasi lahir, tepatnya tahun 1966, R Djimat Soewarno juga memisahkan diri dari S-H Panti(Panutan Inti), untuk kemudian mendirikan SH Winongo Tunas Muda yang berpusat di Jl Doho, Kelurahan Winongo, Kecamatan Manguharjo, Kota Madiun.

“Yang asli berdiri dari tahun 1903 sampai sekarang adalah SH Panti,” kata Koes Soebakir.yang biasa di sebut mbah cuk. Tentang latar belakang kenapa ada perpecahan, kata Koes Soebakir,”Itu pilihan kepentingan masing-masing pendiri yang tak ada hubungannya dengan S-H Panti(Panutan Inti).

” S-H Terate,S-H Organisasi, dan S-H Winongo Tunas Muda memisahkan diri dari S-H Panti(Panutan Inti). Tak ada hubungan organisasi atau keilmuan, kendati pada dasarnya berasal dari fondasi yang sama. “Secara prinsip hubungan kami dengan semua S-H baik-baik saja,”Ujar Koes Soebakir.

Tujuh Pengesuh atau Pengecer Setia Hati :
Ki Ngabehi Surodiwiryo (1903-1944)
 Koesnandar (1944-1947/Bupati Madin kala itu)
 Kolonel Singgih Gubernur Akademi Militer Nasional Magelang (1947-1957)
 Hadi Subroto (1957-1977)
 Karyadi (1957-1977)
Soemakto (1978-1998)
Koes Soebakir(Mbah Cuk) (1998-Sekarang)

Friday, November 23, 2018

Ki Ngabehi Soerodiwirjo


PENDIRI SETIA-HATI 1903 Ki Ngabehi Soerodiwirjo


Muhamad Masdan lahir pada 1869 di daerah Gresik, Jawa Timur. Kelak kemudian putra tertua Ki Ngabehi Soeromiharjo ini dikenal dengan dengan nama Ki Ageng Hadji Ngabehi Soerodiwirdjo (Eyang Suro). Setahun setelah menyelesaikan pendidikan formal setingkat SD, beliau mendapat pekerjaan magang sebagai juru tulis pada seorang kontroler (orang Belanda). Selain bekerja, beliau tetap meneruskan belajar di Pesantren Tebuireng, Jombang. Dari pesantren inilah, Eyang Suro mulai mendalami ilmu agama dan pencak silat sekaligus. Kombinasi ini terus menjadi pola belajar yang beliau dapatkan selepas dari Tebuireng. Seperti ketika kemudian ditugaskan sebagai pegawai pengawas di Bandung, di mana selain menambah wawasan agama dari guru setempat, juga mendapatkan ilmu pencak silat aliran Pasundan seperti Cimande, Cikalong, Cipetir, Cibaduyut, Cimalaya dan Sumedangan.


Hanya setahun di Bandung, beliau harus pindah kerja ke Jakarta (Batavia). Dan selama di Jakarta pun, beliau menggunakan kesempatan untuk memperdalam ilmunya pada guru agama yang juga mengajarkan pencak silat aliran Betawian, Kwitang dan sumatranan. Setelah setahun, kemudian harus pindah kerja lagi ke Bengkulu selama 5  bulan, lalu ke Padang, Sumatra Barat. Di daerah ini, beliau tinggal hampir selama 4 tahun dan juga tetap meneruskan belajar. Namun dalam budaya Minangkabau pada saat itu, mempelajari pencak silat setempat tidak mudah. Guru-guru tingkat tinggi umumnya adalah juga seorang sufi yang tidak sembarangan mengajarkan ilmu atau mengangkat murid. Salah seorang guru Eyang Suro di sini adalah Datuk Rajo Batuah. Selama di Sumatra Barat ini, beliau juga menambah penguasaan ilmu pencak silatnya dari aliran Minangkabau dan Bukittinggi. Selanjutnya Eyang Suro harus pindah tempat kerja lagi ke Aceh yang memungkinkannya memperdalam ilmu dari guru guru di daerah setempat seperti Tengku Ahmad Mulia Ibrahim dan lainnya yang selain mengajarkan agama juga pencak silat aliran Aceh


Setelah 4 tahun berada di Aceh, Eyang Suro kembali ke Surabaya, Jawa Timur. Ketika kemudian mulai banyak murid yang bermaksud belajar kepadanya, maka agar lebih terorganisasikan kemudian dibentuk perguruan pencak silat dengan nama Joyo Gendhilo Cipto Muljo / Sedulur Tunggal Kecer (STK) yang didirikan di PANTI SETIA-HATI 1903 Surabaya,Sebuah perguruan pencak silat yang kelak berkembang menjadi banyak perguruan seperti Persaudaraan Setia Hati, Persaudaraan Setia Hati Winongo, Persaudaraan Setia Hati Terate, Persaudaraan Setia Hati Pilangbango dan beberapa nama perguruan pencak silat lainnya lagi.yang ber-aliran SETIA-HATI .


Walaupun telah menguasai pencak silat tingkat tinggi dari berbagai daerah di Nusantara, namun justru oleh mereka yang mengenalnya, Eyang Surodiwirdhjo sendiri dikatakan sebagai pribadi yang sangat sabar dan ramah. Beliau sendiri mengajarkan bahwa pada tingkatan tertinggi, olah pencak silat bukan lagi pada fisik tetapi spiritual, menuju pengenalan jatidiri sejati. Meskipun tidak banyak, namun ada murid-murid beliau yang kemudian mencapai tingkatan tersebut. Diantaranya almarhum Bapak Bambang Subiyantoro Karto Kusumo (terakhir menjabat sebagai Bupati Ngawi pada 1965-1967), salah seorang keponakan beliau yang karena kecerdasannya (antara lain menguasai beragam bahasa asing secara otodidak) juga menjadi penerjemah pemerintah untuk para tamu negara. Pada 2006, seorang murid (kini tinggal di Taiwan bersama keluarganya) yang sebelumnya telah menyelesaikan jenjang pendekar dari salah satu perguruan beliau di Madiun juga kemudian mencapai tingkatan pencerahan tersebut.

Sebelum Beliau Meninggal ia Menitipkan Sebuah Pesan kepada Saudara ''S-H'' berikut adalah:
1. Jika saya sudah pulang ke Rahmatullah supaya saudara-saudara “S-H” tetap bersatu hati, tetap rukun lahir bathin.
2. Jika saya meninggal dunia harap saudara-saudara “S-H” memberi maaf kepada saya dengan tulus-iklas. Saya titip ibunda Nyi Soerodiwirjo selama masih di dunia fana ini.

Dan ketika Beliau wafat menyuruh membacakan surat surat saat ziarah ke makam Ki Ngabehi Surodiwirdjo(Eyang Suro):
 Surat Yasin ayat 1 yang berbunyi,Yasin Yasien artinya ''Allah saja yang mengetauhi nya''
 Surat Yasin ayat 58 yang berbunyi, Salamun Qaulom mir Rabier-Rahim Artinya, ''Selamat sejahtera itulah seruan Allah Yang Maha Esa''



Sedangkan Badan Pengasuh bertanggung jawab atas rumah tangga SH. Yang mengemban peran ini tidak harus tingkat tiga layaknya Pengesuh. Tugasnya sebagai pelaksana upacara kecer, Suran, atau silaturahim.
Badan Pertimbangan bertugas memberikan pertimbangan, referensi, dan bagaimana keputusan yang akan diambil oleh organisasi. ”Tapi bukan berarti mendominasi badan pengesuh maupun pengasuh,” Koes menjelaskan.
Adapun susunan juru kecer Persaudaraan setia hati winongo(panti) adalah sbb :
Ki Ngabehi Surodiwiryo (1903-1944)
Koesnandar (1944-1947/Bupati Madin kala itu)
Kolonel Singgih Gubernur Akademi Militer Nasional Magelang (1947-1957)
Hadi Subroto (1957-1977)
Karyadi (1957-1977)
Soemakto (1978-1998)
Koes Soebakir (1998-Sekarang)